Senin, 06 Juli 2020

Tumpahan Hati

Beberapa minggu ini aku tengah dirundung kegalauan, di usiaku yang hampir 27 tahun ini aku dihadapkan akan berbagai pilihan. Mau kemana aku selanjutnya, jadi orang seperti apa aku kelak. Setelah aku berhenti bekerja dan melahirkan anak kedua, hari-hari ku dipenuhi dengan urusan rumah tangga pada umumnya. Memasak, berberes rumah, menemani si buah hati bermain dan sebagainya, aku menikmati nya. Hingga suatu saat aku membaca berita mengenai seseorang yang menginspirasi, lulusan S2 Public Health di Harvard University bernama Nadhira Afifa. 

Aku mulai menelusuri seluk beluk latar belakang nya, menghadiri webinar yang ia isi sebagai pembicara, bahkan aku mengirim DM melalui ig hanya untuk menyampaikan kekaguman ku padanya. Ku pikir aku mengalami turning point ketika mengetahui sosoknya. Perlahan aku tersadarkan lagi akan mimpi besar ku. Tidak muluk, hanya ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Teringat akan almarhum papa yang berharap anak-anaknya bisa sekolah Tinggi sampai S2, aku bahkan bermimpi sampai bisa menjadi "Ph. D" jika bisa. Hanya saja pertanyaan yang memenuhi pikiran ku tiap hari hingga kini, mau ambil jurusan apa? S2 atau PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis)? Dalam negri atau luar negeri (mengingat aku sangat ingin merasakan menuntut ilmu di negeri Sakura) ?

Pertanyaan-pertanyaan ini berhasil membuat suami ku geleng-geleng kepala karna setiap hari dia harus mendengarkan ceritaku yang selalu berubah-rubah. Kemarin ingin jadi spesialis mata, lalu hari ini tertarik dengan rehab medik, eh sorenya mau jadi THT. Besoknya mau jadi magister kesehatan masyarakat tapi pengen juga jadi ahli gizi. Begitu terus berputar-putar dengan skema jalan tempuh yang juga berubah. 

Sampai akhirnya aku terpapar dengan sebuah aplikasi parenting yang menjadi wadah bagi para orang tua berdiskusi dan Sharing pengalaman. Di apps ini juga banyak ku temui ibu-ibu yang menanyakan kondisi yang dialami anaknya dan meminta saran. Ada yang hanya sekedar masalah pola asuh sampai ke klinis disertai foto anaknya sehingga kita bisa melihat seberapa parah keadaannya. Di situ hatiku terenyuh, melihat banyak sekali makhluk kecil yang Qadarullah mengalami berbagai masalah kesehatan namun sang ibu bingung harus bagaimana hingga akhirnya lebih memilih bertanya di forum non kesehatan. Aku tidak menyalahkan mereka hanya saja aku menjadi sadar bahwa setiap orangtua pasti ingin memberi yang terbaik bagi anaknya sehingga harus banyak mencari pada berbagai sumber. Aku jadi ingin bisa membantu para orang tua ini mencari jalan keluar sesuai bidang keilmuan tapi aku sadar kompetensi ku masih belum cukup. Lalu terbersit lah sebuah gagasan yang dari dulu selalu ku anggap mustahil, "apakah aku jadi dokter anak saja?"

Aku mulai mencari info tentang seorang ibu yang berjuang melanjutkan studi di PPDS Anak, niat awalnya untuk meyakinkan diriku bahwa itu adalah hal yang akan nyaris tidak masuk akal bagi orang seperti ku. Jujur, aku selalu merasa minder dengan pencapaian ku yang hanya begini saja. Bukannya tidak bersyukur, aku selalu merasa tidak berdaya dengan kapasitas otak ku yang begitu saja, belum lagi rasa malas yang setiap hari menahanku dari berlari lebih kencang menuju tujuan. Berulang kali aku mencoba berbagai strategi untuk menghilangkan sifat-sifat buruk ku tapi selalu kembali seperti semula. Aku yang bertekad ingin aktif menjadi seorang Podcaster dan content maker di Instagram selalu terdistract dengan hal remeh temeh yang lebih menyenangkan dan tidak berfaedah. Bahkan untuk disiplin menjalankan amalan yaumiah saja masih maju mundur. Aku berulang kali meragukan niat ku ini karna sulit untuk bisa tetap konstan pada kemajuan.

Tapi... 

Malam ini Allah kembali menuntun ku kembali pada cahaya. Bak api kecil yang disirami bahan bakar, semakin aku mencari tahu semakin motivasiku membara. Ku temukan beberapa postingan pengalaman dari seorang ibu yang menceritakan pengalaman nya menjadi peserta PPDS anak sembari tetap mengurus kebutuhan keluarga nya. Mereka begitu menginspirasi, terasa kepahitan pengorbanan dan manisnya perjuangan dari tiap bait nya. 


Tidak ada yang tidak mungkin
Batasan hanya ada di pikiran kita
Musuh terbesar ku adalah diriku sendiri 
Pencapaian besar butuh pengorbanan besar
Mulai sekarang atau menyesal di kemudian hari 

... 

Klasik bukan, tapi kali ini menampar batin yang penuh keraguan ini. 

Ini aku yang tengah bersemangat, bagaimana dengan besok, apakah kemalasan akan mengalahkan ku untuk ke sekian kalinya? We'll see.. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(Beating) Negative Thoughts

Ku kira, telah berhasil ku lewati fase yang paling sulit dari pengobatan penyakitku, yakni operasi. Ku kira, setelah ini aku sudah mulai bis...