Ku kira, telah berhasil ku lewati fase yang paling sulit dari pengobatan penyakitku, yakni operasi.
Ku kira, setelah ini aku sudah mulai bisa menyusun kembali puing-puing perjuangan masa depan ku.
Ku kira, semua kekhawatiran ku mengenai 'hitung mundur' usia ku hanyalah mimpi buruk.
Ternyata, babak baru yang kini berputar lebih menantang dari yang ku bayangkan.
Nyeri itu kadang timbul, sangat mengganggu.
"Ini hanya sementara, tahan saja..", begitu pikirku hingga aku sadar nyeri itu makin berat hingga memaksaku berhenti melangkah.
"Tentu saja, orang dengan massa tumor di otaknya akan mengalami gejala ini sesekali. Namun, apakah benar harus sesakit ini?
Apakah nyeri ini akan berkurang atau malah semakin berat?
Apakah aman bila aku terus meminum obat-obatan ini?
Apakah aku akan menghabiskan sisa hidupku menderita seperti ini?
Bagaimana dengan keluargaku, haruskah mereka terus menderita karena kelemahanku, ketidakberdayaanku, dan keberadaanku?..."
Pikiran-pikiran buruk terus menghantui ku, begini rupanya hidup sebagai seorang dengan penyakit kritis.
Tidak sesederhana yang ku kira sebelumnya, tinggal ikuti prosedurnya dan kamu akan bertahan? Tidak, aku salah besar.
Bahkan untuk menjalani hari ke hari saja butuh keberanian. Aku tidak mengada-ngada, ketakutan ini bagai penumpang gelap dalam benakku. Aku tidak bisa mengusirnya, hanya bisa mengelabuinya sesekali dengan harapan-harapan yang tersisa.
Meski tidak banyak yang tersisa dariku, tapi aku punya iman. Iman sajalah yang dapat menyelamatkanku.
Aku beriman bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi kesanggupanku
Aku beriman bahwa penderitaan yang ku alami bisa saja mengurangi timbangan keburukan ku di akhirat kelak
Aku beriman bahwa tangan-tangan Allah bekerja untuk kebaikanku melampaui yang aku bayangkan
Aku beriman... suatu saat, mungkin tidak dalam waktu dekat, aku akan melihat kilas balik ini dengan tersenyum sambil penuh syukur..
(Jakarta, 26072023)