Sabtu, 17 Mei 2014

Boku no Taiyou ~ Matahariku (956th day)

Langit masih gelap, belum ada pertanda seluruh sisi dari Jakarta telah bangun dari lelapnya malam. Sebuah mobil Kijang melaju dengan kecepatan biasa di atas jalan tol Jatiwarna yang kala itu masih sunyi.
 
Jarum-jarum kecil di arlojiku menunjukkan waktu pukul 06.15, hari ini kami kembali berhasil untuk berangkat meninggalkan rumah lebih cepat. Rasa bangga sedikitnya memenuhi benakku meskipun hal ini merupakan hal yang sudah seharusnya bagi orang yang duduk di bangku kemudi itu. Ya, hal ini selalu menjadi syarat mutlak bagiku agar bisa diterima sebagai penumpang setiap hari sekolah, meskipun terkadang aku curang. Aku beruntung Markas Besar TNI tempat ayahku bekerja terletak searah dengan lokasi sekolah tempat ku menimba ilmu. 
Mobil dinas pinjaman ini selalu memanjakan ku dari penuhnya penumpang pada kendaraan angkutan umum di setiap paginya. Perawakannya sudah jauh dari mobil baru, bahkan pulasan sana-sini yang menimpa bagian yang telah keropos menandakan jelas bahwa mobil ini sudah pantas disebut ‘rongsokan’. Bukannya tidak bersyukur, tapi aku merasa ayah tak pantas mendapat jatah mobil ini balik jabatannya yang lumayan tinggi.

“Anginnya kencang, kita tutup saja jendelanya…” suara parau itu memecahkan keluh ku dalam diam.

“Ya…” jawabku patuh tanpa berkomentar sedikitpun.

Kini gantian AC yang meniupkan desiran angin sejuk yang menyapu wajahku. Gigil udara pagi itu menyertai hening yang sudah menjadi menu harian diantara kami. Selalu begitu.

Ku curi pandangan ku sedikit pada sesosok tua yang rambut lebatnya hampir semua tertutupi oleh warna abu-abu itu. Ia terpekur sendiri sambil tetap fokus memandang lurus ke jalanan yang hanya dilewati oleh satu-dua mobil. Sorot matanya teduh, seperti hamparan laut yang membuat ku selalu ingin menyelam ke dalamnya. Bibirnya tertutup rapat, menyimpan berbagai isi hati yang jarang sekali diungkapkannya. Sesekali ia edarkan pandangannya menuju kaca spion mobil untuk memastikan perjalanan kami aman dari ancaman yang diberikan oleh mobil yang menyalip tiba-tiba. Kau tahu, di jalan super mulus dengan sedikit kendaraan yang tengah melaju membuat setiap orang merasa bebas untuk menancapkan gas hingga kecepatan maksimal. Begitu pula pagi itu, beberapa kali ku simak lesatan mobil yang lalu meninggalkan decitan kecil dari bannya yang terus berputar menjilat aspal. Aku tahu Papa tidak seperti para pengemudi itu. "Safety is first" , tukasnya selalu.

Aku jadi ingat ketika Mama berhalangan untuk mengantarku sekolah saat masih duduk di bangku SMP dulu, terpaksa aku menerima kenyataan bahwa Papa yang akan mengemudi motor bebek yang biasanya disulap menjadi motor balap ketika Mama yang memegangnya. Lamban, bahkan teramat. Aku bak tengah dibawa tur oleh seorang agen developer perumahan mengitari satu per satu bilik rumah yang mungkin menarik untuk dihuni. Hanya saja tur itu sama sekali tidak ku butuhkan di saat luapan rasa cemas memenuhi dada, takut hari itu guru piket akan menghukumku sebagai siswa yang datang terlambat. Keberanian tak cukup terkumpul untuk ku melontarkan sepatah kata permintaan agar kecepatan ditambah. Diam dan terus berdoa. Aku yakin hubungan darah diantara kami masih menjamin ia akan mengerti kekhawatiran ku yang tersembunyi.

Diam. Ya, kata-kata bukanlah sesuatu yang menghubungkan kami. Namun walalupun begitu entah sejak kapan kami telah terbiasa dengan kenyataan ini. Sembari mendengarkan sunyi mataku bergerak menuju arah luar jendela yang telah diruapkan basah oleh embun. Ku lihat barisan lampu jalan yang ramainya mengalahkan pepohonan di sekitar jalan tol. Sepertinya sebentar lagi lampu itu akan dimatikan mengingat semburat warna oranye mulai muncul di balik gerumbul awan yang memenuhi langit subuh itu. Kicauan burung yang bersahutan mulai menyusup ke balik telingaku. Kehidupan kota telah dimulai.

Jarak dari pintu tol tempat kami masuk tadi hingga pintu keluar yang berada di daerah Taman Mini tidak jauh, hanya beberapa ratus meter dan dapat dilalui dalam 5 menit. Dan kau tahu, kami setiap hari menghabiskan uang sebanyak Rp.6000 untuk dapat mengakses kemudahan yang berupa jalan pintas ini. Aku tahu, hal ini tidak seharusnya terjadi bila orangtuaku mewajibkan kami berangkat sekolah dengan kendaraan umum seperti orangtua lainnya. Pahit harus menjadi seseorang yang terus menumpuk hutang budi dan materi pada mereka yang selalu berusaha melengkapi kebutuhan kami. Yang bisa ku lakukan lagi-lagi diam sambil menikmati perjalanan yang akan segera berakhir itu.

Lembayung biru kini telah sempurna terlukis di langit di selingi iringan putihnya awan. Seirama dengan gerak maju jarum panjang pada arlojiku, temperatur udara pagi itu perhalan naik. Naluri keisengan memancing tangan ku untuk menurunkan sedikit kaca jendela yang masih menggunakan tuas manual itu. Bisa ku rasakan kesejukan yang tersisa yang menyelinap masuk ke dalam celah jendela lalu kemudian menyapa lembut kulitku. Dingin, namun anehnya aku merasa hangat di sampingnya yang masih sibuk dengan daun kemudinya. Entah mengapa, detik-detik yang tak lama itu selalu kusukai tiap harinya. Detik-detik yang hanya diwarnai oleh kesunyian yang membisu, miskinnya cahaya dini hari, serbuan dingin udara yang menusuk, serta gertakan kasar dari mesin mobil yang tengah melaju, semuanya bagai alunan lagu yang membuatku tetap terjaga di saat kantuk masih menggelayut di balik kelopak mata ini. Keberadaannya saja sudah bisa menerangi dan menghangatkan dunia ku yang masih terlelap. Ia benar bagai matahari.

Palang hijau besar menggantung di tiang pinggir jalan bertuliskan Pinang Ranti tak jauh di depan mobil kami. Lengkungan jalan itu menyadarkan ku bahwa kami telah sampai pada tujuan pertama, simpang menuju SMAN 48 Jakarta tempat aku harus berpisah dengannya. Ku sergap ransel biru yang sejak tadi meringkuk di balik bangku penumpang dan lalu membuka pintu berancang-ancang untuk turun. Seperti biasa aku harus mengucapkan sepotong kalimat itu, bagai sepotong lirik lagu yang sudah dihapal betul oleh kami berdua, “Pergi ya Pa, Assalaamu’alaikum…”

Kaki kananku berhasil mendarat di tanah yang sedikit becek akibat hujan semalam yang disusuli oleh kaki kiriku sedikit melompat mencari daerah yang lebih kering. Ku lemparkan pandangan terakhirku pada si pengemudi yang harus segera menggerakkan mobilnya dari pinggir jalan raya yang telah penuh oleh hiruk pikuk kendaraan lain. Sekolah ku memang terletak di daerah yang padat dilalui penduduk dengan kendaraan pribadinya maupun kendaraan umum, karena itulah sekalinya berhenti harus segera bergerak lagi agar tidak menimbulkan kemacetan di sekitar. Di sela waktu yang teramat sempit itu ku dapati garis bibirnya yang tadinya rapat itu tengah melengkung-lengkung seiring kata-kata yang diucapkannya.

“Wa’alaikumsalaam, yang rajin belajarnya, nak…” balasnya pelan namun terdengar jelas dalam telingaku. Ucapan itu kemudian diakhiri dengan senyum tipis yang meggantung pada bibirnya yang kembali rapat. Senyum itu mengalahkan banyaknya energi yang ku dapat dari sarapan pagi ini.

"Ya, Pa..." jawabku ligat seolah berjanji. 

Ku dorong daun pintu mobil yang melemparkan bunyi nyaring ketika tertutup. Perpisahan terjadi seketika empat roda si-‘Kijang dinas’ mulai berputar kembali. Ia kemudian menyelinap di antara puluhan mobil lainnya yang tengah mengantri menunggu warna hijau terlingkar di lampu lintas yang menggantung pada tiang di pinggir perempatan besar Taman Mini Square itu. Langkah kaki ku pun kini tengah sibuk membawaku menuju sekolah yang terletak beberapa puluh meter dari tempat ku diturunkan. Satu lagi rutinitas pagi yang harus kujalani sebelum menjalani studi di salah satu SMA Negeri yang katanya favorit di Jakarta Timur itu. Bersama banyaknya siswa lain yang mulai berdatangan, aku kembali melangkah menelusuri hari lain dalam hidup. Cerahnya cuaca pagi ini tentunya akan selalu mengingatkan ku padanya yang membebankan tanggungjawab padaku sebagai anak. Padanya yang bagai matahari, akan ku tepati janji ku.

(Lhoksemuawe, 17 Mei 2014)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

(Beating) Negative Thoughts

Ku kira, telah berhasil ku lewati fase yang paling sulit dari pengobatan penyakitku, yakni operasi. Ku kira, setelah ini aku sudah mulai bis...