Langit masih gelap, belum ada pertanda seluruh sisi dari Jakarta
telah bangun dari lelapnya malam. Sebuah mobil Kijang melaju dengan kecepatan
biasa di atas jalan tol Jatiwarna yang kala itu masih sunyi.
Jarum-jarum kecil
di arlojiku menunjukkan waktu pukul 06.15, hari ini kami kembali berhasil untuk
berangkat meninggalkan rumah lebih cepat. Rasa bangga sedikitnya memenuhi
benakku meskipun hal ini merupakan hal yang sudah seharusnya bagi orang yang
duduk di bangku kemudi itu. Ya, hal ini selalu menjadi syarat mutlak bagiku agar bisa
diterima sebagai penumpang setiap hari sekolah, meskipun terkadang aku curang. Aku beruntung Markas Besar TNI
tempat ayahku bekerja terletak searah dengan lokasi sekolah tempat ku menimba ilmu.
Mobil dinas pinjaman ini selalu
memanjakan ku dari penuhnya penumpang pada kendaraan angkutan umum di setiap
paginya. Perawakannya sudah jauh dari mobil baru, bahkan pulasan sana-sini yang
menimpa bagian yang telah keropos menandakan jelas bahwa mobil ini sudah pantas
disebut ‘rongsokan’. Bukannya tidak bersyukur, tapi aku merasa ayah tak pantas mendapat jatah mobil ini balik jabatannya yang lumayan tinggi.
“Anginnya kencang, kita tutup saja jendelanya…” suara parau
itu memecahkan keluh ku dalam diam.
“Ya…” jawabku patuh tanpa berkomentar sedikitpun.
Kini gantian AC yang meniupkan desiran angin sejuk yang
menyapu wajahku. Gigil udara pagi itu menyertai hening yang sudah menjadi menu
harian diantara kami. Selalu begitu.
Ku curi pandangan ku sedikit pada sesosok tua yang rambut
lebatnya hampir semua tertutupi oleh warna abu-abu itu. Ia terpekur sendiri
sambil tetap fokus memandang lurus ke jalanan yang hanya dilewati oleh satu-dua
mobil. Sorot matanya teduh, seperti hamparan laut yang membuat ku selalu ingin menyelam
ke dalamnya. Bibirnya tertutup rapat, menyimpan berbagai isi hati yang jarang
sekali diungkapkannya. Sesekali ia edarkan pandangannya menuju kaca spion mobil
untuk memastikan perjalanan kami aman dari ancaman yang diberikan oleh mobil
yang menyalip tiba-tiba. Kau tahu, di jalan super mulus dengan sedikit
kendaraan yang tengah melaju membuat setiap orang merasa bebas untuk
menancapkan gas hingga kecepatan maksimal. Begitu pula pagi itu, beberapa kali
ku simak lesatan mobil yang lalu meninggalkan decitan kecil dari bannya yang
terus berputar menjilat aspal. Aku tahu Papa tidak seperti para pengemudi
itu. "Safety is first" , tukasnya selalu.
Aku jadi ingat ketika Mama berhalangan untuk mengantarku sekolah saat masih duduk di bangku SMP dulu, terpaksa aku menerima kenyataan bahwa Papa yang akan mengemudi motor bebek yang biasanya disulap menjadi motor balap ketika
Mama yang memegangnya. Lamban, bahkan teramat. Aku bak tengah dibawa tur oleh
seorang agen developer perumahan mengitari satu per satu bilik rumah yang mungkin
menarik untuk dihuni. Hanya saja tur itu sama sekali tidak ku butuhkan di saat
luapan rasa cemas memenuhi dada, takut hari itu guru piket akan menghukumku
sebagai siswa yang datang terlambat. Keberanian tak cukup terkumpul untuk ku
melontarkan sepatah kata permintaan agar kecepatan ditambah. Diam dan terus
berdoa. Aku yakin hubungan darah diantara kami masih menjamin ia akan mengerti
kekhawatiran ku yang tersembunyi.
Diam. Ya, kata-kata bukanlah sesuatu yang menghubungkan
kami. Namun walalupun begitu entah sejak kapan kami telah terbiasa dengan
kenyataan ini. Sembari mendengarkan sunyi mataku bergerak menuju arah luar
jendela yang telah diruapkan basah oleh embun. Ku lihat barisan lampu jalan
yang ramainya mengalahkan pepohonan di sekitar jalan tol. Sepertinya sebentar
lagi lampu itu akan dimatikan mengingat semburat warna oranye mulai muncul di
balik gerumbul awan yang memenuhi langit subuh itu. Kicauan burung yang
bersahutan mulai menyusup ke balik telingaku. Kehidupan kota telah dimulai.
Jarak dari pintu tol tempat kami masuk tadi hingga pintu keluar yang berada
di daerah Taman Mini tidak jauh, hanya beberapa ratus meter dan dapat dilalui
dalam 5 menit. Dan kau tahu, kami setiap hari menghabiskan uang sebanyak Rp.6000
untuk dapat mengakses kemudahan yang berupa jalan pintas ini. Aku tahu, hal ini
tidak seharusnya terjadi bila orangtuaku mewajibkan kami berangkat sekolah
dengan kendaraan umum seperti orangtua lainnya. Pahit harus menjadi seseorang
yang terus menumpuk hutang budi dan materi pada mereka yang selalu berusaha
melengkapi kebutuhan kami. Yang bisa ku lakukan lagi-lagi diam sambil menikmati
perjalanan yang akan segera berakhir itu.
Lembayung biru kini telah sempurna terlukis di langit di
selingi iringan putihnya awan. Seirama dengan gerak maju jarum panjang pada
arlojiku, temperatur udara pagi itu perhalan naik. Naluri keisengan memancing
tangan ku untuk menurunkan sedikit kaca jendela yang masih menggunakan tuas
manual itu. Bisa ku rasakan kesejukan yang tersisa yang menyelinap masuk ke
dalam celah jendela lalu kemudian menyapa lembut kulitku. Dingin, namun anehnya aku merasa
hangat di sampingnya yang masih sibuk dengan daun kemudinya. Entah mengapa,
detik-detik yang tak lama itu selalu kusukai tiap harinya. Detik-detik yang
hanya diwarnai oleh kesunyian yang membisu, miskinnya cahaya dini hari, serbuan dingin udara yang menusuk, serta gertakan kasar dari mesin mobil yang tengah
melaju, semuanya bagai alunan lagu yang membuatku tetap terjaga di saat kantuk
masih menggelayut di balik kelopak mata ini. Keberadaannya saja sudah bisa
menerangi dan menghangatkan dunia ku yang masih terlelap. Ia benar bagai
matahari.
Palang hijau besar menggantung di tiang pinggir jalan
bertuliskan Pinang Ranti tak jauh di depan mobil kami. Lengkungan jalan itu
menyadarkan ku bahwa kami telah sampai pada tujuan pertama, simpang menuju SMAN 48 Jakarta tempat
aku harus berpisah dengannya. Ku sergap ransel biru yang sejak tadi meringkuk
di balik bangku penumpang dan lalu membuka pintu berancang-ancang untuk turun.
Seperti biasa aku harus mengucapkan sepotong kalimat itu, bagai sepotong lirik lagu yang
sudah dihapal betul oleh kami berdua, “Pergi ya Pa, Assalaamu’alaikum…”
Kaki kananku berhasil mendarat di tanah yang sedikit becek
akibat hujan semalam yang disusuli oleh kaki kiriku sedikit melompat mencari
daerah yang lebih kering. Ku lemparkan pandangan terakhirku pada si pengemudi
yang harus segera menggerakkan mobilnya dari pinggir jalan raya yang telah
penuh oleh hiruk pikuk kendaraan lain. Sekolah ku memang terletak di daerah
yang padat dilalui penduduk dengan kendaraan pribadinya maupun kendaraan umum,
karena itulah sekalinya berhenti harus segera bergerak lagi agar tidak
menimbulkan kemacetan di sekitar. Di sela waktu yang teramat sempit itu ku
dapati garis bibirnya yang tadinya rapat itu tengah melengkung-lengkung seiring
kata-kata yang diucapkannya.
“Wa’alaikumsalaam, yang rajin belajarnya, nak…” balasnya
pelan namun terdengar jelas dalam telingaku. Ucapan itu kemudian diakhiri
dengan senyum tipis yang meggantung pada bibirnya yang kembali rapat. Senyum
itu mengalahkan banyaknya energi yang ku dapat dari sarapan pagi ini.
"Ya, Pa..." jawabku ligat seolah berjanji.
Ku dorong daun pintu mobil yang melemparkan bunyi nyaring
ketika tertutup. Perpisahan terjadi seketika empat roda si-‘Kijang dinas’ mulai
berputar kembali. Ia kemudian menyelinap di antara puluhan mobil lainnya yang
tengah mengantri menunggu warna hijau terlingkar di lampu lintas yang
menggantung pada tiang di pinggir perempatan besar Taman Mini Square itu.
Langkah kaki ku pun kini tengah sibuk membawaku menuju sekolah yang terletak
beberapa puluh meter dari tempat ku diturunkan. Satu lagi rutinitas pagi yang
harus kujalani sebelum menjalani studi di salah satu SMA Negeri yang katanya favorit di
Jakarta Timur itu. Bersama banyaknya siswa lain yang mulai berdatangan, aku
kembali melangkah menelusuri hari lain dalam hidup. Cerahnya cuaca pagi ini
tentunya akan selalu mengingatkan ku padanya yang membebankan tanggungjawab
padaku sebagai anak. Padanya yang bagai matahari, akan ku tepati janji ku.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar